Populisme Ridwan Kamil
SEJUMLAH Ridwan Kamil menjadi kontroversi dalam beberapa hari terakhir. Soalnya sederhana, reaksi Kang Emil – sapaan akrabnya, terhadap kritikan netizen dinilai terlalu berlebihan.
Dari sisi regulasi, kebijakan Kang Emil di Masjid Al Jabbar sebenarnya tidak salah. Namun dari sudut pandang politik-etis, Kang Emil mungkin telah mengambil langkah yang salah.
Membangun rumah ibadah dengan dukungan APBD di atas Rp 1 triliun belum tentu mencerminkan keadilan dan kearifan seorang pemimpin di era pandemi Covid-19.
Dermaga. ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI Sejumlah warga berada di pelataran masjid usai peresmian Masjid Raya Al Jabbar di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, Jumat (30/12/2022). Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meresmikan Masjid Al Jabbar dan menggelar salat Jumat pertama di Masjid Raya. Jawa Barat sudah memiliki Masjid Raya di Bandung. Tentu salah jika menganggap masjid ini bukan representasinya.
Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia – sekitar 49 juta jiwa pada tahun 2020.
Dari jumlah tersebut, komposisi penduduk Muslim adalah yang terbesar – hampir 97 persen dari total penduduk.
Jawa Barat memiliki jumlah masjid terbanyak dibandingkan provinsi lain di Indonesia – sekitar 49.000 bangunan (BPS, 2021).
Kalaupun masih ngotot membangun masjid, sepertinya Kabupaten Bogor lebih bermanfaat. Perhitungannya sebagai berikut, 4,8 juta Muslim tinggal di Bogor, sedangkan jumlah masjid “hanya” ada 2.300 bangunan.
Bandingkan dengan Bandung Raya yang berpenduduk Muslim sekitar 5,6 juta jiwa dan total 5.300 masjid. Tentu saja, ini masih perhitungan sederhana, terlepas dari aspek politik dan ekonomi yang terlibat.
Ada baiknya Kang Emil dan Pemprov Jabar menjelaskan perhitungan keuntungan tersebut kepada publik untuk meredam kontroversi.
Pemimpin populis di era pasca-populis
Masjid yang indah sudah berdiri. Selamat kepada masyarakat Bandung Raya dengan masjid baru, dengan ruang publik baru.
Tentunya kita berharap masjid ini bukan sekedar simbol. Namun, mesin gerakan Islam moderatlah yang memperkuat toleransi di antara masyarakat di sana. Harapan saya dan mungkin para pembaca, inilah warisan Kang Emil dengan Masjid Al-Jabbar.
Tapi saya ingin mengkritik Kang Emil lebih jauh lagi. Saya pergi dengan keinginannya yang terlihat jelas di antara hadirin: menjadi salah satu kandidat dalam pertempuran pemilihan umum 2024 – atau menjadi presiden, atau (mengutip banyak hasil polling) wakil presiden yang paling realistis.
Kang Emil adalah tipe pemimpin populis, sama seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Layaknya pemimpin populis di seluruh dunia, salah satu gerakan politik Kang Emil mengandalkan sosoknya di media sosial.
Di era populisme, kepribadian media sosial memang penting, dan Kang Emil sangat memahami hal ini. Klaim politiknya terutama berfokus pada dua kelompok massa: Islam dan generasi milenial.
Sebelum kontroversi Masjid Al Jabbar, Kang Emil lebih dulu berurusan dengan Nadhlatul Ulama Jawa Barat.
Dengan perhitungan untuk menarik simpati kelompok pertama, muncul pernyataan bahwa pemerintah daerah telah membayar satu triliun rupiah kepada kelompok Nadhliyin di Jawa Barat.
Di grup kedua, Kang Emil justru lebih tegas. Beragam komentar spontan, nyentrik, dan lucu keluar melalui lini massa di Twitter dan Instagram.
Satu lagi, mungkin Kang Emil paling paham K-Pop dan Tik Tok dibanding kandidat lain yang mencalonkan diri di Pilpres 2024.
Gubernur Jawa Barat ini seolah mewakili kaum milenial, ia ada dari dan untuk kaum milenial. Kedekatan Kang Emil tak hanya didukung media sosial, tapi juga di layar kaca. Salah satu yang paling populer adalah Dilan 1991.
Populisme Kang Emil punya karakter tersendiri. Saya tidak melihat nada otoriter. Ia tidak tampak menyerang elit dan juga tidak sepenuhnya mewakili mayoritas – seperti populisme politik pada umumnya.
Dia sedang membangun identitas, tapi dengan balutan milenial, tidak mengenal agama atau etnis, apalagi gender. Narasi politiknya, sebagaimana dikritik oleh beberapa pengamat politik, terlalu menekankan kontroversi daripada substansi.
Jika Kang Emil akan bertarung di Pilpres 2014 dan 2019 dengan gerakan “populis” ini, ia harus dianggap sebagai penantang serius atau alternatif dari Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat itu.
Namun Pilpres 2024 bukan lagi era populisme. Saya perkirakan kita sedang memasuki era post-populisme.
Ilmuwan politik seperti Yascha Mounk dalam artikel majalahnya Samudra Atlantik (2021) telah mengajukan hipotesis ketika masyarakat dunia telah mencapai suatu tahapan atas dari populisme.
Pembacaan Mounk ternyata benar di tingkat global. Saya masih yakin gejala ini akan muncul di game 2024.
Di era pasca kerakyatan, menurut saya, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pemimpin masa depan sebelum berkontestasi.
Pertama, rekam jejak manfaat diklasifikasikan sebagai esensial. Rekam jejak manfaat seorang pemimpin berbeda dengan prestasinya.
Rekam jejak manfaat harus diuji di ranah publik oleh mereka yang dipimpin, sedangkan prestasi bisa diklaim dan dipromosikan oleh pemimpin itu sendiri.
Selama ini Kang Emil lebih sering mempromosikan prestasinya, dibandingkan dengan rekam jejak keunggulan kepemimpinannya di Jawa Barat yang -meminjam istilahnya kemarin- di-bully publik.
Kedua, komunikasi politik didasarkan pada salah satu dari: secara konsisten membangun kedekatan dengan elit politik, atau secara konsisten mengadvokasi kelompok minoritas secara sosial, politik, dan ekonomi.
Untuk pertama kalinya Kang Emil memang cukup aktif, namun belum terlihat efektivitasnya. Buktinya, saat ini tak ada satu partai politik pun yang serius “mengusulkan” dia.
Mengenai yang kedua, saya bisa mengatakan bahwa Kang Emil tidak menceritakan kebijakannya di Jawa Barat, terutama dalam hal membangun toleransi antaragama, mengangkat kelas menengah ke bawah di Jawa Barat, bahkan ia menganjurkan pengusaha lokal Jawa Barat yang tidak kalah babak belurnya pada masa itu. pandemi.
Ketiga, pendapat tentang akar rumput seringkali lebih penting daripada opini di media sosial. Orang Indonesia telah belajar banyak dari keberadaan selama sepuluh tahun terakhir bel (buzzer) politik dll.
Singkatnya, cerita-cerita yang berkembang atau sengaja dibangun di media sosial belum tentu atau semakin sulit untuk ditelan oleh publik.
Menurut saya, tesis ini diperkuat dengan konsistensi gerakan sosial yang aktif dalam memasyarakatkan literasi digital.
Nyatanya, negara Jawa Barat tidak terlalu mewakili sebagian konten media sosial Kang Emil.
Investasi yang masuk ke Jawa Barat memang yang tertinggi di Indonesia. Namun secara nasional, kesenjangan antara si kaya dan si miskin di Jawa Barat berada di lima besar.
Selain itu, Jawa Barat masih tak lepas dari predikat provinsi intoleran. Setidaknya itulah yang ditunjukkan oleh studi Imparsial dan Setara Institute.
Akhir kata, saya ingin menyampaikan bahwa dengan memimpin Jawa Barat di era pandemi Covid-19, sebenarnya harus diperhitungkan bahwa Kang Emil akan memimpin Indonesia ke depan, dan banyak kajian politik yang dapat membenarkan pernyataan tersebut. Hanya minuman populis yang perlu dikurangi.
Dapatkan pembaruan berita terpilih dan berita penting setiap hari dari Kompas.com. Yuk gabung di grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link lalu gabung. Anda harus menginstal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel Anda.
Source: news.google.com