Politisasi dana zakat
Melalui ARIF R HARYONO (Pegiat kemanusiaan zakat)
Fenomena aparat pemerintah yang demonstratif menggunakan logo partai dalam membagikan dana zakat masyarakat merupakan puncak gunung es dari kerawanan penggunaan dana kedermawanan publik untuk kinerja politik elektoral beberapa partai. Keyakinan saya, ini bukan kasus pertama dan satu-satunya. Mungkin saja daya tarik politik subjek kali ini begitu besar dan kuat.
Setidaknya ada dua faktor yang membuat rentannya dana zakat digunakan untuk kepentingan politik musiman. Pertama, regulasi tersebut gagal mengatur standar etika dan moral interaksi petahana dengan ekosistem dan lembaga zakat negara. Struktur organisasi Baznas yang terdiri dari puluhan Baznas provinsi, ratusan Baznas kabupaten/kota, dan ribuan Unit Penghimpun Zakat (UPZ) yang berafiliasi dengan Baznas di setiap tingkatan, sangat bersinggungan dengan institusi politik yang ada.
Misalnya, komisioner Baznas dipilih melalui seleksi yang dilakukan Kementerian Agama, pengujian fit and clean di DPR RI, sampai diangkat atau diberhentikan oleh presiden. Pada tingkat pimpinan Baznas daerah, proses pengangkatan atau pemberhentian pimpinan Baznas daerah sepenuhnya menjadi kewenangan kepala daerah masing-masing.
Sampai batas tertentu ini bukan masalah. Asalkan tata kelola dan landasan etika dipahami dengan baik oleh masing-masing pihak. Sayangnya, hubungan politik antara pimpinan lembaga zakat dan aktor politik tidak dilindungi oleh regulasi yang baik, badan pengawas yang kuat, serta standar etika dan moral bagi para aktor politik. Maka tidak heran jika konstelasi kepemimpinan BAZNAS sangat ditentukan oleh keputusan politik pejabat pemerintah di daerahnya masing-masing. Hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi preferensi masyarakat penerima Baznas juga.
Alih-alih mengatur tata kelola dan etika moral politik, regulasi memfasilitasi ketegasan lebih lanjut. Faktor kerawanan kedua terhadap politisasi dana zakat bersumber dari regulasi yang secara ambivalen memposisikan Baznas sebagai pengumpul yang didukung oleh kekuatan politik yang mapan, mengendalikan penyelenggaraan zakat untuk dirinya sendiri, serta ribuan Baznas daerah dan UPZ yang berafiliasi dengan Baznas.
Otoritas politik Baznas dalam menghimpun zakat masyarakat bukan main-main. Misalnya, Baznas mengeksekusi sebuah pola bagian 30:70 kepada lembaga zakat tertentu, biasanya yang berafiliasi dengan pegawai atau perusahaan BUMN/D. Skema ini memberikan ruang lingkup perolehan penuh sebesar 30 persen dari total pengumpulan zakat oleh lembaga zakat. Sebagai gambaran: jika LAZ menghimpun 100 miliar, maka 30 miliar menjadi seluruh hak pengelolaan Baznas. Model fesyen penggalangan dana tergantung rendah buahseorang teman pernah bercanda.
Sementara itu, dalam skema pengelolaan zakat daerah, cukup lazim kepala daerah mengeluarkan kebijakan wajib zakat ASN dengan memotong pendapatan Baznas setempat. Ada juga yang memiliki skema wajib sedekah 10 sampai 15 persen untuk perusahaan mitra pemda. Tujuannya pragmatis, mendorong pemungutan berbasis kebijakan publik dari petahana.
Lembaga Zakat Komunitas, di sisi lain, tidak memilikinya hak istimewa skema kebijakan politik di bidang pengumpulan. Dasar motivasi donasi ke lembaga amal masyarakat juga masih bertumpu pada kepercayaan masyarakat Layanan luar biasa LAZ yang bersangkutan. Jadi, alih-alih melanggar aturan regulasi, justru melintasi persoalan etika dan moral dalam penyaluran dana bantuan justru bisa meningkatkan risiko hilangnya kepercayaan publik.
Tidak mungkin suatu negara dengan peradaban demokrasi yang tinggi memberikan kewenangan mutlak kepada lembaga negara yang menghimpun ratusan triliun dana masyarakat tanpa adanya badan pengawas yang berimbang dan tidak memihak.
Selain itu, lembaga zakat masyarakat memiliki sistem pengawasan yang berlapis. Misalnya, adanya proses wajib lapor ke Baznas minimal dua kali dalam setahun, proses audit dan manajemen syariah dari Baznas dan Kementerian Agama, hingga uji kompetensi LAZ Dewan Pengawas Syariah oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). . Jika ini tidak terjadi, pencabutan izin operasi seringkali menjadi ancaman. Baznas, di sisi lain, diberkahi dengan kekuatan politik incumbent, tidak memiliki sistem pengawasan yang baik. kaku dan berlapis.
pepatah klasik”kekuasaan mutlak korup mutlakHal itu patut dijadikan landasan pemikiran tentang potensi politisasi uang jajan.Tidak mungkin suatu negara dengan peradaban demokrasi yang tinggi memberikan kewenangan mutlak kepada lembaga negara yang menghimpun ratusan triliun dana masyarakat tanpa pengawasan yang seimbang dan tidak memihak. badan lembaga Taruhannya adalah hancurnya ekosistem zakat Indonesia, disertai runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut perantara seperti Baznas dan LAZ.
Penyaluran dana bantuan zakat yang berlogo partai sangat bermasalah dari segi etika dan moral aparatur pemerintah. Kasus ini harus dijadikan sebagai pendorong untuk membenahi pengelolaan zakat. Perombakan regulasi menjadi tema sentral agar bias posisi Bazna bisa dihilangkan. Menyusun pedoman dan kaidah etik-moral pengelolaan zakat yang berlaku secara konsisten bagi setiap aktor politik, khususnya petahana. Lebih lanjut, keberadaan badan pengawas pengelolaan zakat sangat relevan, terutama di tahun-tahun politik tinggi. Agar zakat tidak hanya disalahgunakan untuk kepentingan pemilu.
Baca lebih banyak’;
“).attr({ ketik: ‘text/javascript’, src: ‘ }).prependTo(“head”); if ($(“.instagram-media”).length > 0) $(“”).attr ({ ketik: ‘text/javascript’, src: ‘}).prependTo(“head”); $(document).on(“click”, “.ajaxContent”, function
this.height = 640;
this.muted = true;
//console.log(this.videoHeight);
}
);
window.onload = function() {
var videos = document.getElementsByTagName(“video”),
fraction = 0.8;
function checkScroll() {
if (videos.length > 0) { untuk (var i = 0; i < videos.length; i++) {
var video = videos[i];
var x = video.offsetLeft,
y = video.offsetTop,
w = video.offsetWidth,
h = video.offsetHeight,
r = x + w,
b = y + h,
visibleX, visibleY, visible;
visibleX = Math.max(0, Math.min(w, window.pageXOffset + window.innerWidth - x, r - window.pageXOffset));
visibleY = Math.max(0, Math.min(h, window.pageYOffset + window.innerHeight - y, b - window.pageYOffset));
visible = visibleX * visibleY / (w * h);
if (visible > pecahan) { video.play(); } else { video.pause(); } } } } window.addEventListener(‘scroll’, checkScroll, false); jendela addEventListener(‘resize’, checkScroll, false); }; jendela.fbAsyncInit = function() { FB.init({ appId: ‘700754587648257’, xfbml: true, versi: ‘v14.0’ }); }; (fungsi(d, s, id) { var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; if (d.getElementById(id)) { return; } js = d.createElement(s); js.id = id; js.src = ” fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs); } (dokumen, ‘script’, ‘facebook-jssdk’)); $(“.share_it a,.share-open-fix li”).on (“click”, function() { url = window.location.href; s = $(this).parents(“div.block_quot”).children(“div.blog-post-actions”).children(“div .tautan tarik”).teks().ganti(/[^a-z0-9\s]/gi, ”).ganti(/[_\s]/g, ‘+’); c = $(this).parents(“div.block_quot”).children(“div.quote-text”).text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, ”).ganti(/[_\s]/g, ‘+’); konten = c + ” – ” + s; if ($(this).children().hasClass(“fa-facebook”)) { img = document.querySelector(“meta[property=’og:image’]”).getAttribute(“content”); FB.ui({ method: ‘share_open_graph’, action_type: ‘og.shares’, action_properties: JSON.stringify({ object: { ‘og:url’: url, ‘og: title’: “”, ‘og:description’: c, ‘og:og:image:width’: ‘610’, ‘og:image:height’: ‘409’, ‘og:image’: img } }) }); console.log(img); } else if ($(this).children().hasClass(“fa-twitter”)) { window.open(” + konten + ” ” + url); } else if ($(this).children().hasClass(“fa-whatsapp”)) { window.open(” + content + ” ” + url + “?utm_source=whatsapp”); } return false; }) ;});
Source: news.google.com