Nasi Apung UMY Jadi Viral, Ternyata Ini Cerita Di Balik Penemuannya
Foto: Harminanto
BANTUL – Teknologi beras terapung yang diinisiasi oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LPM UMY) bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia telah berhasil dipanen di Kutai Kalimantan Timur dan Green House UMY menjadi perhatian publik dalam beberapa hari. Banyak yang percaya teknologi ini bisa diterapkan untuk mendukung program perkebunan pangan yang sedang dicanangkan pemerintah.
Teknologi padi terapung akan diimplementasikan pada tahun 2020 dalam kerangka besar pengelolaan lahan gambut dengan sistem paludikultur berbasis masyarakat di Kalimantan Timur. Tujuannya adalah untuk menjadi pusat pembelajaran bagi petani melalui pengembangan demplot pertanian di tengah rawa gambut, yang kemudian hasilnya dapat menjadi model pertanian berwawasan lingkungan di lahan gambut.
dr. Gatot Supangkat, ketua LPM UMY menjelaskan pelaksanaan program di Desa Muhuran Kabupaten Kutai Kertanegara dan di desa Minta Kabupaten Kutai Barat dilaksanakan sepanjang tahun 2020 dengan beberapa kajian dan uji coba. Salah satu yang dikembangkan adalah penanaman padi dengan metode apung.
“Sesampainya di sana, warga mengeluhkan gagal panen dan produksi padi yang kurang maksimal. Warga memanfaatkan lahan basah yang surut sebagai perkebunan padi. Namun lahan ini sering tergenang air oleh Sungai Mahakam sehingga padi terendam air sehingga menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu, salah satu inovasi yang kami lakukan adalah menanam padi dengan cara terapung, seperti yang terlihat di Green House Fakultas Pertanian UMY,” ujar Gatot, Sabtu (7/1/2023).
Menurut Gatot, sistem budidaya padi terapung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam pada lahan yang tergenang air. Padi terapung merupakan salah satu upaya adaptasi perubahan iklim bagi daerah rawan banjir atau rawa-rawa yang tergenang air.
“Jika padi terapung dikembangkan di daerah rawan banjir atau rawa, maka produksi dan pendapatan petani akan meningkat karena adanya peningkatan nilai ekonomi lahan. Tentu saja sistem budidaya padi terapung menjadi solusi rawan banjir dan rawan rawa untuk mengatasi dan memanfaatkan kondisi lahan secara maksimal,” lanjutnya.
Ir Mulyono, pakar riset UMY, menambahkan teknologi padi terapung dikembangkan dengan menggunakan rakit bambu dan media tanam botol berisi lumpur, pupuk organik berbahan bulu ayam dan kompos. Bahan yang ditemukan di sekitar dapat digunakan untuk memaksimalkan produksi tanaman padi.
“Kemarin di Kalimantan Timur kami menggunakan pupuk organik dari kotoran burung walet dan rumput kiambang yang dijadikan kompos sebagai campuran media tanam. Di Kalimantan Timur kami menggunakan beras IR 64. Sedangkan di rumah kaca UMY kami menggunakan beras rojolele. ,” kata Mulyana.
Padi terapung merupakan salah satu upaya adaptasi perubahan iklim bagi daerah rawan banjir atau rawa-rawa yang tergenang air. Jika padi terapung dikembangkan di daerah rawan banjir atau rawa, maka produksi dan pendapatan petani akan meningkat melalui peningkatan nilai ekonomi lahan.
“Inovasi ini sekaligus memenuhi kebutuhan pangan warga di daerah rawa gambut di Kalimantan Timur atau daerah lain di Indonesia. Dengan memanfaatkan rawa untuk pembangunan pertanian tanpa merusak gambut yang dapat menyebabkan perubahan iklim,” lanjut Mulyono. (fxh)
Source: news.google.com