Mempromosikan demokrasi dan konsistensi sistem proporsional terbuka - informasi
Politik

Mempromosikan demokrasi dan konsistensi sistem proporsional terbuka

KEMUDIAN Saat ini banyak perdebatan mengenai sistem proporsional terbuka atau tertutup untuk Pemilu 2024.

Pertanyaannya, mengapa kita memiliki kepentingan untuk membahas sistem proporsional pada Pemilu 2024? Secara lebih spesifik, mengapa penulis memilih menggunakan sistem proporsional terbuka dan menolak sistem proporsional tertutup?

Sebelum lebih jauh memaparkan pandangan politik tersebut, penulis mengajak kita untuk melihat kembali sejarah.

Secara historis, sistem proporsional muncul sebagai akibat dari praktik demokrasi yang cacat (pemilu), karena gagal mempromosikan partisipasi warga negara yang setara.

Sejarah mencatat bahwa praktek demokrasi (pemilu) sudah dikenal bangsa Yunani kuno sekitar tahun 508 SM.

Saat itu, orang Yunani mengadakan pemilihan “negatif”, yaitu setiap tahun para pemilih, yang merupakan pemilik tanah laki-laki, diminta untuk memilih pemimpin politik atau “kandidat” yang paling mereka inginkan, diikuti oleh Republik Romawi.

Belakangan, pada Abad Pertengahan, khususnya pada abad ke-13, negara Venesia mengadakan pemilihan Dewan Agung yang terdiri dari 40 anggota.

Orang Venesia mempraktikkan “pemilihan persetujuan”, di mana pemilih memberikan satu suara untuk setiap kandidat yang menurut mereka dapat diterima, bukan memilih yang menurut mereka tidak dapat diterima. Pemenangnya adalah orang yang dapat diterima oleh jumlah pemilih terbanyak.

Selain itu, berdasarkan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, bangsa Amerika telah mengkonseptualisasikan penerapan hak atas kebebasan berbicara, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu.

Namun, dalam praktik awal, hanya pria kulit putih di atas usia 21 tahun yang diizinkan mencalonkan diri dalam pemilihan.

Dalam pembangunan, negara-negara di dunia berdasarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia menyelenggarakan pemilu dengan prinsip partisipasi yang setara. Namun dalam praktiknya, partisipasi dalam pemilu selalu sangat timpang.

Benjamin R. Barber, dalam bukunya Demokrasi Kuat – Politik Partisipatif di Era Baru (1984) berpendapat bahwa partisipasi yang tidak setara mengarah pada pengaruh yang tidak setara – dilema utama bagi demokrasi perwakilan di mana daya tanggap demokrasi (pejabat terpilih) bergantung pada partisipasi warga negara.

Masalah menjadi lebih serius ketika suatu negara menganggap bahwa partisipasi tidak penting dalam sistem perwakilan dan kemudian memberikan akses yang lebih baik kepada warga negara yang lebih kaya dan berpendidikan lebih baik.

Jika demikian, ‘demokrasi’ menjadi sarana menindas warga negara yang kuat terhadap mereka yang lemah secara sosial budaya, ekonomi dan politik.

Demokrasi dengan demikian memiliki “cacat bawaan”, karena proses dan mekanisme yang digunakan lebih didasarkan pada besarnya suara atau kekuatan dukungan. Cara terbaik untuk mengatasi kekurangan yang melekat pada demokrasi adalah dengan memperkenalkan sistem proporsional.

sistem proporsional

Seperti Barber, kami juga menyadari bahwa ‘demokrasi tidak sempurna’. Artinya, proses dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis tidak menjamin akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Oleh karena itu, melalui amandemen UUD 1945, kami sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional (demokrasi konstitusional).

Melalui amandemen UUD 1945, kami juga sepakat untuk menggunakan perwakilan proporsional sebagai sistem dalam pemilihan kami.

Kesepakatan ini dibuat karena kita ingin mengakomodir sifat bangsa kita yang multietnik, multiagama dan multiideologis. Jadi, melalui sistem proporsional, kami yakin bisa mencapai hasil pemilu yang tidak bertentangan dengan amanat UUD 1945.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, perwakilan proporsional dengan sistem daftar melibatkan setiap partai menyerahkan daftar calon anggota legislatif (caleg) kepada pemilih di setiap daerah pemilihan.

Representasi proporsional dengan sistem daftar adalah cara paling populer untuk memilih perwakilan di dunia. Sebanyak 80 negara di dunia menggunakan sistem ini dengan dua varian sistem daftar (terbuka dan tertutup) untuk memilih parlemennya.

Keuntungan dari sistem daftar proporsional (khususnya terbuka) adalah pertama perwakilan budaya/kelompok minoritas dapat dipilih.

Ketika, seperti yang sering terjadi, pola pemungutan suara mencerminkan pembagian budaya atau sosial suatu masyarakat, sistem daftar terbuka dapat memastikan bahwa badan legislatif mencakup anggota kelompok mayoritas dan minoritas.

Artinya, sistem ini memberikan ruang politik di mana partai bisa mengajukan daftar calon yang multiras dan multietnis.

Kedua, meningkatkan peluang perempuan untuk terpilih. Pakar politik berpendapat bahwa sistem ini hampir selalu lebih bersahabat dengan pemilihan perempuan daripada sistem mayoritas/mayoritas.

Intinya, partai bisa menggunakan daftar itu untuk mendorong kemajuan politisi perempuan dan memberi ruang bagi pemilih untuk memilih caleg perempuan, dengan tetap mendasarkan pilihannya pada kebijakan selain gender.

Berbeda dengan sistem daftar terbuka, sistem daftar tertutup memiliki kelemahan terutama karena menggunakan varian daftar tertutup.

Pertama, sistem daftar tertutup mengakibatkan lemahnya hubungan antara legislator terpilih dengan konstituennya. Ketika daftar digunakan, dan terutama ketika kursi dialokasikan, hubungan antara pemilih dan wakilnya menjadi kabur.

Selama lebih dari tujuh dekade, kita (Indonesia) menggunakan dua varian representasi proporsional, yaitu daftar terbuka dan daftar tertutup.

Kami pernah menggunakan daftar tertutup pada pemilu 1955, pemilu Orde Baru, dan pemilu 1999. Kemudian setelah amandemen UUD 1945, kami juga menggunakan daftar terbuka, yaitu pada pemilu parlemen tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Nah, mengingat Pemilu 2024, kita kembali berdiskusi dan berdiskusi tentang varian representasi proporsional yang ideal.

Sejumlah parpol dan pengamat politik menilai sistem tertutup lebih tepat diterapkan pada Pileg serentak 2024. Sebab, sistem proporsional tertutup lebih sederhana dari sudut pandang pemilih.

Selain itu, kata mereka, sistem proporsional tertutup juga mempermudah tugas KPU, terutama dalam proses rekapitulasi.

Hal itu mengacu pada pengalaman Pileg 2019, di mana banyak panitia Pileg yang meninggal karena kelelahan.

Karena itu, mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, agar sistem proporsional terbuka diganti dengan sistem proporsional tertutup untuk Pileg 2024.

Namun, para penulis – dan rekan-rekan dari PKB, Partai Golkar Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PPP dan PKS terus berdamai untuk menyatakan sikap mereka terhadap sistem proporsional tertutup karena mereka percaya bahwa sistem proporsional terbuka lebih demokratis.

Padahal, tak lain Wakil Presiden Ma’ruf Amin, misalnya, berharap MK menjunjung tinggi prinsip pemilu yang adil, jujur, transparan, dan terbuka.

Wapres mengatakan, merujuk pada pengalaman sejarah, pasca reformasi dan berdasarkan amandemen UUD 1945, Indonesia harus menerapkan sistem proporsional terbuka.

Sejalan dengan pemikiran Wakil Presiden Ma’ruf, penulis berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka harus tetap dipertahankan dan dilaksanakan secara konsisten.

Karena sistem ini sesuai dengan cita-cita UUD 1945 amandemen UUD 1945 yang mewajibkan kita menerapkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional (demokrasi konstitusional) untuk mengakomodir karakter bangsa Indonesia yang multietnis, multireligius, dan multideologis.

Selain itu, sistem proporsional daftar terbuka lebih sejalan dengan prinsip demokrasi yang menekankan kesetaraan dan partisipasi politik.

Dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka, kita bisa mengatasi masalah keterwakilan politik selama ini.

Pertama, sistem proporsional terbuka membuka peluang bagi rakyat untuk memilih wakilnya secara langsung. Dengan demikian, pemilih dapat terus berkomunikasi dan melakukan kontrol terhadap wakil-wakil yang duduk di lembaga perwakilan.

Kedua, sistem daftar terbuka dapat menciptakan kerangka-kerangka yang berakar pada komunitas yang tumbuh dan berkembang dari massa rakyat sehingga dapat menyerap dan memahami aspirasi rakyat.

Ketiga, sistem proporsional daftar terbuka memaksa partai politik untuk selalu bertransformasi, terutama melalui demokratisasi internal.

Jika proses transformasi dilakukan secara konsisten, partai politik menjadi lebih kuat, bersih, dan kredibel.

Keberadaan partai politik yang kuat dan berintegritas sangat penting untuk menjamin proses pembangunan yang berkelanjutan.

Sebab, UUD 1945 mengamanatkan partai politik berperan aktif dalam membangun struktur pemerintahan demi terselenggaranya proses pembangunan nasional secara adil, merata, dan berkelanjutan.

Dapatkan pembaruan berita terpilih dan berita penting setiap hari dari Kompas.com. Yuk gabung di grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link lalu gabung. Anda harus menginstal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel Anda.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button