Calon jemaah umrah dan haji khusus harus terdaftar di BPJS Kesehatan, ini aturannya
JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Penyelenggaraan umrah dan haji khusus akan memberlakukan syarat tambahan. Yaitu terdaftar dalam jaminan pokok (JKN).
Hal itu mengacu pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Tahun 2022 Nomor 1456 yang ditandatangani pada 21 Desember 2022 oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. PPIU) dan Penyelenggara Haji Khusus (PIHK) harus terdaftar sebagai peserta aktif dalam program JKN.
Selanjutnya, PPIU dan PIHK mensyaratkan pendaftaran calon jemaah umrah dan haji khusus sebagai peserta JKN aktif. Hal ini dibuktikan dengan data atau dokumen yang valid sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, jemaah haji khusus yang belum terdaftar JKN sebelum keputusan diambil harus menjadi peserta aktif pada saat biaya perjalanan haji khusus dibayarkan. Bagian pertimbangan KMA menunjukkan bahwa keputusan tersebut ditujukan untuk optimalisasi program JKN.
Menanggapi KMA tersebut, Persatuan Penyelenggara Umroh dan Haji (Sapuhi) menyatakan keberatan. Alasannya, tidak ada hubungan langsung dengan proses ibadah. “Di satu sisi, kami diwajibkan membayar asuransi perjalanan bagi jemaah umrah agar Kementerian Agama (Kemenag) menjamin semua kegiatan ibadah di sana, baik dari segi kesehatan maupun teknis. Apalagi ini baru susunan KMA,” kata Ketua Sapuhi Syam Resfiadi Amirsyah kepada Jawa Pos kemarin (7/1).
Menurut Syam, kewajiban mengikuti JKN tidak terkait langsung dengan operasional dan prosesi penyelenggaraan umrah dan haji. Selain premi asuransi perjalanan yang dibayarkan, asuransi kesehatan merupakan urusan pribadi antara dewan dengan BPJS Kesehatan atau penjamin asuransi kesehatan.
Syam mengatakan kondisi saat ini menuju normal baru, standar baru harus hadir. Semua pemangku kepentingan di masa pascapandemi membutuhkan penyesuaian dan itu membutuhkan waktu. “Artinya perlu duduk bersama antara kementerian terkait yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan, agar teknis pelaksanaan pembayaran bagi jamaah yang belum memiliki BPJS Kesehatan disederhanakan. ” dia berkata.
Sementara itu, Pemerhati Haji dan Umrah Ade Marfudin menjelaskan kesehatan berkaitan dengan istitaah (kemampuan jamaah dari aspek kesehatan yang meliputi ukuran fisik dan mental yang diukur dengan survei umrah dan haji). Nah, menurut dia, pemerintah ingin mengurus itu. Hal ini karena umrah dan haji merupakan ibadah fisik. “Saat jemaah sakit, ibadah terganggu. Tidak optimal,” jelasnya.
Menurut Ade, JKN bukan untuk pengendalian. Yang menjamin seseorang, termasuk jemaah umrah atau haji yang akan datang, sehat. Namun, merupakan kesadaran pribadi untuk melakukan pembayaran atau kontribusi sesuai dengan peraturan pemerintah. Jika dewan sakit, ia dapat berobat atau memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan di negara tersebut. “Nah, tidak ada gunanya membayar iuran BPJS kesehatan dengan niat untuk beribadah,” jelasnya.
Kecuali, lanjut Ade, jika dalam KMA sudah ada ketentuan bahwa JKN menjamin semua penyakit atau diagnosa jemaah umrah atau haji akan diperiksa secara gratis. Artinya, hasil diagnosa dokter rumah sakit yang ditunjuk bisa dijadikan sebagai indikator layak atau tidaknya mereka keluar.
“Apakah tidak ada klausul? Kalau ada, pemerintah memperhatikan. Bukan hanya rakyat yang disuruh membayar. Agar bisa menjadi alat istitaah. Kalau tidak relevan, jangan diada-ada. orang ingin beribadah,” katanya.
Ade mendorong pemerintah untuk terlebih dahulu mendistribusikan KMA 1456 kepada penyelenggara umrah dan haji serta masyarakat. Jangan mengaturnya. Misalnya, bisa bertahap selama tiga sampai enam bulan. Dengan demikian rombongan wisata dan masyarakat umum dapat memahaminya pada tahapan-tahapan tertentu. Kemudian diuji dan dievaluasi keefektifannya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada penjelasan lebih lanjut dari Kementerian Agama. Termasuk usulan untuk sosialisasi dan implementasi secara bertahap.
Sementara itu, misi haji 2023 dimulai. Saat ini Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas berada di Arab Saudi untuk menghadiri Kongres Haji. Forum itu akan membahas persiapan haji. Mulai dari kuota, hotel hingga catering jemaah haji.
Yaqut berharap dalam kongres tersebut, usulan Indonesia dapat dipenuhi oleh Saudi. Salah satunya adalah kuota jemaah haji. Ini akan mencari kuota tambahan. “Ini penting agar antrian haji yang panjang bisa dipersingkat. Insya Allah 100 persen (kuota) sudah tercapai. Kami ingin lebih dari 100 persen,” katanya.
Yaqut menambahkan, kongres akan menentukan bagaimana pelaksanaan haji 1444H/2023M, sehingga dia keluar agar bisa berunding langsung.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Solomon
Source: news.google.com